Guru Juga Manusia Biasa
Persiapan mengajar paling penting adalah guru bisa mengontrol diri sendiri sebelum mengontrol keadaan, siswa, dan kondisi sekitarnya. Bayangkan kalau guru tidak bisa mengontrol dirinya. Melihat kondisi kelas yang kotor, siswa yang ribut - eh, pecah deh amarahnya! Layaknya gunung berapi meletus, omelan dan teriakan berhamburan ke seluruh penjuru kelas.
Para
siswa? Awalnya ribut ngobrol, kaget dong. Tapi lama-lama? Kebal! Kebiasaan!
Toh, omelan gurunya itu ibarat kaset rusak, diputar berkali-kali pun lagunya
tetap sama. Justru yang jadi bahan gosip adalah gaya sang guru saat marah. Ada
yang bergaya ala preman pasar, ada yang bergaya diva opera - saking tingginya
nada bicaranya.
Yang
kasihan? Ya, pita suara sang guru. Habis terbakar emosi, suaranya
bisa serak selama berhari-hari. Padahal, mengajar butuh pita suara yang prima. Bagaimana
bisa menjelaskan materi dengan intonasi yang tepat kalau suaranya sudah kayak
kodok kejepit?
Belum
lagi efek domino-nya. Emosi
guru yang meledak bisa menular ke siswa. Kelas yang tadinya ribut karena
obrolan ringan, bisa berubah jadi ajang debat kusir. Siswa yang tadinya anteng,
jadi ikut-ikutan ngomel. Wah, alih-alih belajar, yang ada malah adu bacot.
Sekolah
yang seharusnya menjadi zona damai, berubah jadi pasar malam. Kepala
sekolah yang pusing mendengar keributan, bisa jadi ikut terseret ke pusaran
drama. Beliau yang tadinya fokus ngurusin anggaran sekolah, sekarang harus jadi
"polisi emosi" yang mendamaikan guru dan siswa.
Padahal,
kalau dipikir-pikir, kenapa sih repot-repot marah-marah? Toh, kelas kotor bisa
dibersihkan. Siswa
yang ribut bisa diingatkan dengan cara yang lebih halus. Bukankah guru digaji
untuk menghadapi hal-hal seperti ini?
Kalau
mau jujur, di balik amarah yang membuncah, mungkin ada faktor lain yang bikin
sang guru stres. Gaji
yang minim, murid yang bandel, atau setumpuk tugas administrasi yang tak
kunjung usai. Tapi, bukankah itu risiko menjadi pahlawan pendidikan?
Jadi,
daripada buang-buang energi buat marah-marah, mending para guru belajar ilmu
"kungfu pengendali emosi". Latihan pernapasan, yoga, atau
main congklak - terserah apa pun caranya yang penting bisa meredam amarah.
Dengan
emosi yang terkendali, kelas pun jadi kondusif. Guru bisa
mengajar dengan tenang, siswa bisa belajar dengan nyaman. Sekolah pun kembali
menjadi zona damai, jauh dari drama opera dan omelan ala preman pasar. Bukankah
ini yang kita semua inginkan?
Mari
kita bantu para guru untuk menguasai kungfu pengendali emosi. Berikan
mereka dukungan dan motivasi, ciptakan lingkungan kerja yang kondusif, dan
sediakan pelatihan yang memadai. Dengan demikian, mereka dapat menjadi pahlawan
pendidikan yang sesungguhnya, mampu mendidik generasi penerus bangsa dengan
penuh ketenangan, kebijaksanaan, dan kasih sayang.
Ingatlah,
guru yang mampu mengendalikan diri adalah guru yang mampu mengubah kelas
menjadi taman belajar yang penuh keceriaan dan inspirasi.
Kalau bercermin pada sandiwara radio, zaman dulu. Orang yang dianggap guru selalu diperankan oleh sosok yang tua yang sudah melepaskan diri dari urusan dunia dan cuma punya murid sedikit ☺️
BalasHapusitu dulu, sekarang berlomba-lomba cari murid sebanyak-banyaknya
Hapus