Kebodohan konon adalah penyakit yang sangat mudah menular. Menular lewat tatapan kosong di angkutan umum, postingan media sosial penuh kesesatan logika, hingga obrolan warung kopi yang lebih seru membahas teori konspirasi alien daripada solusi banjir tahunan.
Tahunan sudah kita saksikan parade ketidaktahuan ini, seolah menjadi festival budaya yang dirayakan dengan penuh semangat tanpa pertanyaan. Pertanyaan kritis dianggap angin lalu, atau lebih buruk lagi, dianggap sebagai serangan pribadi bagi mereka yang sudah nyaman berendam dalam kolam kedangkalan pikiran.
Pikiran yang seharusnya diasah malah dibiarkan tumpul, lebih memilih digosok oleh informasi instan sepraktis mie gelas daripada mengunyah data dan fakta yang butuh energi. Energi bangsa terkuras bukan untuk inovasi, tapi untuk klarifikasi hoaks terbaru atau meributkan perbedaan sepele yang dibesar-besarkan oleh buzzer bayaran murah.
Murah memang harga sebuah provokasi di negeri ini, jauh lebih terjangkau dibandingkan biaya masuk sekolah yang katanya bertujuan mencerdaskan kehidupan. Kehidupan yang cerdas butuh fondasi kuat bernama pendidikan, sang vaksin ampuh penangkal virus kebodohan. Kebodohan, ironisnya, menyebar tanpa biaya, gratis ongkos kirim via grup WhatsApp keluarga hingga mimbar-mimbar penuh retorika tanpa substansi.
Substansi ilmu pengetahuan terkunci rapat di balik gerbang sekolah mahal, laboratorium canggih, dan buku-buku impor yang harganya bikin rakyat jelata menelan ludah. Ludah pahit terasa ketika melihat potensi anak bangsa terkubur bukan karena kurang cerdas, tapi karena kurang beruntung. Beruntung adalah mereka yang lahir dengan sendok perak, mampu membeli tiket 'imunitas' dari wabah kebodohan melalui akses pendidikan premium.
Premium harganya, eksklusif fasilitasnya, seolah pendidikan adalah klub elit tempat para 'tervaksinasi' berkumpul, sementara di luar pagar, virus Dungu-24 (Dungu jenis terbaru tahun ini) berpesta pora. Porak-poranda logika publik dibuatnya, kebijakan aneh lahir dari rahim ketidaktahuan, keputusan ngawur diambil atas nama 'suara mayoritas' yang terinfeksi parah. Parah memang kondisinya, vaksin ada tapi tak terjangkau, sementara penyakitnya gratis dan menyebar secepat kilat menyambar tiang.
Tiang penyangga peradaban, yaitu akal sehat dan pengetahuan, perlahan digerogoti oleh rayap-rayap kedunguan yang berkembang biak subur di iklim ketidakpedulian dan keterbatasan akses. Akses terhadap informasi yang benar kini bersaing ketat dengan tsunami disinformasi; yang satu butuh kuota dan kemauan membaca, yang lain cukup modal jempol dan kebencian tak berdasar.
Berdasar pada asumsi dan prasangka, keputusan-keputusan kolektif diambil, mengabaikan data dan analisis para ahli yang dianggap 'kurang merakyat' atau 'tidak sesuai kearifan lokal'. Lokal maupun global, penyakit ini tak kenal batas negara, namun dampaknya terasa lebih getir di tempat vaksinnya dijual dengan harga mencekik leher. Leher terasa berat memikirkan nasib generasi mendatang, akankah mereka berhasil mendapatkan vaksin itu, ataukah kita hanya akan mewariskan pandemi kebodohan lintas generasi.
Komentar
Posting Komentar