Langsung ke konten utama

Senja Yang Merobek Hati di Tanjung Losa



Debur ombak Tanjung Losa hari ini terasa lebih lirih, seperti bisikan duka yang tak ingin mengganggu sunyi. Namun, justru kelembutannya inilah yang terasa lebih menusuk, merobek perlahan lapisan pertahanan di hatiku. Pasir putih di bawah telapak kakiku terasa begitu halus, mengingatkanku pada sentuhan lembutnya yang kini hanya tinggal kenangan yang menyakitkan. Dinginnya merayapi kulitku, serupa dengan dingin yang kini menetap di ruang hatiku yang ditinggalkan.

Aku duduk di atas batu karang yang dulu sering menjadi tempat berbagi cerita dan impian. Laut yang terbentang di hadapanku tampak tenang, namun di kedalamannya, aku merasakan gejolak yang sama dengan badai yang berkecamuk di dalam diriku. Birunya laut, yang dulu selalu kuartikan sebagai keteduhan cintanya, kini hanyalah cermin buram dari kehampaan yang kurasakan. Setiap ombak yang memecah di pantai seolah membawa serpihan-serpihan kenangan bersamamu, menghantamku dengan lembut namun pasti.


"Jadi, begini rasanya," bisikku pada angin yang berhembus pelan, membawa aroma asin laut yang bercampur dengan getirnya air mata yang tak lagi bisa kutahan. Suaraku hampir tak terdengar, kalah oleh desiran ombak yang terus berulang, seperti alunan lagu sedih yang tak pernah usai. Air mata mengalir tanpa isak, membasahi pipiku dengan jejak yang dingin dan perih, seperti jejak kepergianmu yang membekas di hatiku.


Di kejauhan, garis cakrawala tampak kabur, seolah menyatu dengan kaburnya harapanku akan masa depan bersamamu. Undangan itu, masih terbayang jelas dalam benakku, bukan lagi sebagai lembaran kertas, melainkan sebagai simbol bisu dari akhir segalanya. Namamu dan namanya, terukir dengan tinta emas, sebuah pengkhianatan yang terasa lebih menyakitkan dalam kesunyian ini. Rasanya baru kemarin kita berdiri di sini, di Tanjung Losa, di bawah langit yang sama, saling menggenggam tangan, merencanakan hari esok yang kini takkan pernah menjadi kenyataan.


Kupejamkan mata, mencoba menghirup aroma laut yang dulu selalu menenangkan. Kini, aromanya justru membawa serta bayangan senyummu, tatapanmu, setiap detail kecil tentangmu yang kini terasa seperti duri yang tertancap dalam-dalam. Suara camar yang melayang di atas sana terdengar seperti ratapan yang tertahan, seolah ikut merasakan kepedihan yang tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata.


"Aku tidak mengerti," gumamku lirih, lebih kepada diriku sendiri. "Bagaimana bisa sesuatu yang terasa begitu nyata, begitu indah, tiba-tiba menghilang begitu saja?"
Matahari mulai merayap turun, memancarkan warna-warna lembut di langit barat. Jingga, merah muda, dan ungu berbaur dengan tenang, menciptakan pemandangan yang begitu damai namun kontras dengan kekacauan di hatiku. Dulu, senja ini adalah waktu yang kita nantikan bersama, saat kita berbagi kehangatan dan harapan. Kini, setiap warna yang muncul justru mengingatkanku pada kehangatanmu yang telah hilang, pada harapan yang telah pupus.


Aku ingat, di batu ini, saat ombak membasahi kaki kita, kau pernah berjanji akan selalu menjadi rumah bagiku, tempat aku kembali setelah mengarungi kerasnya dunia. Tapi kini, rumah itu telah menjadi milik orang lain, dan aku terdampar di pantai ini, seorang diri.
Kulihat ke arah "Pulau Spongebob" yang tampak semakin menjauh ditelan senja. Dulu, kita sering tertawa membayangkan kehidupan di sana, sebuah dunia yang penuh kebahagiaan dan tanpa kepedihan. Sekarang, pulau itu hanya terlihat seperti bayangan samar, seperti kebahagiaan yang kini terasa begitu jauh dan mustahil untuk kuraih.


"Apa yang salah denganku?" tanyaku pada keheningan senja, mencari kesalahan yang mungkin telah kulakukan, yang mungkin menjadi alasan kepergianmu. Namun, yang kutemukan hanyalah kekosongan, sebuah lubang besar yang kau tinggalkan di hatiku.


Angin bertiup semakin sejuk, membelai rambutku dengan lembut, seperti sentuhan perpisahan. Suara dedaunan di pepohonan terdengar seperti bisikan lirih, seolah alam pun turut berduka bersamaku. Aku memeluk diriku sendiri, mencoba mencari kehangatan yang dulu selalu kau berikan, namun yang kurasakan hanyalah dingin yang semakin merasuk.
"Mungkin… memang begini akhirnya," bisikku, kata-kata itu terasa seperti hembusan napas terakhir dari sebuah harapan yang sekarat. Menerima kenyataan ini terasa seperti membiarkan pisau karat perlahan mengiris hatiku, rasa sakitnya tidaklah tiba-tiba, namun terasa begitu dalam dan tak tersembuhkan.


Kupandangi sekali lagi laut yang mulai menggelap, cahaya terakhir matahari memantul dengan redup di permukaannya, seperti sisa-sisa cinta yang perlahan padam.


Dengan langkah perlahan, aku bangkit, meninggalkan jejak kesedihan di pasir yang basah. Setiap langkah terasa berat, membawa beban hati yang terasa semakin menyesakkan. Aku tahu, aku tidak bisa terus berlama-lama di sini, di tempat yang menyimpan terlalu banyak kenangan tentangmu. Aku harus pergi, membawa serta luka ini, dan mencoba mencari jalan pulang menuju diriku yang hilang.


"Selamat tinggal, Tanjung Losa," bisikku pelan, air mata mengalir lagi, kali ini terasa lebih tawar, seperti kepasrahan yang mulai merayap dalam hatiku. "Terima kasih untuk kesunyianmu, meskipun kesunyian ini semakin memperjelas kepergiannya."


Saat aku melangkah menjauhi pantai yang semakin sunyi, suara ombak masih terdengar, kini seperti lagu pengantar tidur bagi hati yang patah. Bintang-bintang mulai bermunculan di langit malam, namun cahayanya terasa jauh dan dingin, tak mampu menghangatkan jiwaku yang membeku. Perjalanan ini akan panjang, aku tahu. Namun, di tengah kesunyian malam dan bisikan ombak yang lirih, aku mencoba menemukan sedikit kekuatan untuk terus melangkah, membawa serta kenangan tentangmu sebagai bagian dari masa lalu yang akan selalu kurindukan, namun takkan pernah lagi kumiliki.


Debur yang Merobek Sunyi

Di Tanjung Losa, ombak tak lagi riuh, Namun lirihnya menusuk kalbu yang rapuh. Pasir putih, dulu jejak kita berdua, Kini dingin menyapa, hampa tak terkira.

Laut membentang, birunya kelabu, Cerminan hati yang kehilangan teduhmu. Setiap buih yang pecah di bibir pantai, Serpihan kenangan, perih tak terperih.

Angin berbisik, bukan lagi namamu, Melainkan igauan pilu yang memburu. Air mata jatuh, asinnya serupa laut, Mengalirkan perih, cerita yang terpaut.

Undangan itu, kremnya bagai nisan, Nama kita terpisah, sebuah kenyataan. Senja yang dulu kita lukis bersama, Kini jingga berdarah, merobek sukma.

Batu karang ini, saksi bisu janji, Rumah yang kau bangun, kini bukan untukku lagi. Pulau impian, kini siluet kelam, Bahagia yang dulu ada, kini tenggelam.

"Apa yang kurang?" tanya pada sepi, Jawaban membentang, kehampaan abadi. Angin memeluk, bukan lagi hangatmu, Hanya dingin menusuk, membekukan rindu.

"Mungkin memang bukan aku," lirihku berucap, Kata-kata berat, bagai duri yang mencabik. Selamat tinggal, Tanjung Losa yang pilu, Kenangan bersamamu, kini jadi sembilu.

Langkah menjauh, jejakku sendiri, Ombak terus berbisik, lagu perpisahan ini. Bintang bertaburan, cahayanya sayu, Seperti hatiku kini, merindu tak berujung waktu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PAHIT MANIS MEMBERI SARAN

  PAHIT MANIS MEMBERI SARAN Memberi saran bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, niat baik ingin membantu dan berbagi pengalaman mendorong kita untuk menawarkan solusi. Di sisi lain, konsekuensi yang tak terduga sering kali mengiringi, meninggalkan rasa pahit dan getir. Salah satu konsekuensi terberat adalah beban tanggung jawab. Ketika saran kita diadopsi, dan hasilnya tidak memuaskan, bayang-bayang kekecewaan dan kegagalan menghantui. Kita dihadapkan pada pertanyaan, "Apakah ini semua salahku?". Rasa bersalah dan penyesalan pun tak terelakkan. Lebih lanjut, memberi saran kerap dicap sebagai tindakan sok tahu. Kita dianggap seolah memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang lebih tinggi, seolah kehidupan orang lain perlu diarahkan. Hal ini dapat menimbulkan rasa tersinggung dan memicu perselisihan. Tak jarang, niat baik kita disalahartikan sebagai kritik. Saran yang tulus ditafsirkan sebagai serangan terhadap kemampuan dan pilihan orang lain. Hal ini dapat merusak...

SELINGKUH : SELingan INdah yanG membuat Keluarga tidak utUH

  Bab 1: “Cinta yang Terluka”   Maya: Sang Istri yang Terluka Di sebuah kota kecil yang damai, tinggallah seorang wanita bernama Maya. Matanya yang cokelat hangat menyimpan kisah panjang tentang perjuangan dan pengorbanan. Maya menikah dengan Dharma, pria yang dicintainya sepenuh hati. Mereka membangun rumah tangga sederhana namun penuh kasih sayang. Maya adalah seorang istri yang setia dan penyayang. Dia selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk Dharma dan keluarga. Dia bekerja keras membantu suaminya, mengurus rumah tangga, dan membesarkan anak-anak mereka dengan penuh kasih. Dharma, di sisi lain, adalah seorang pria yang tampan dan karismatik. Namun, di balik pesonanya, dia menyimpan rahasia kelam. Dharma diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan seorang wanita lain. Maya mulai merasakan ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Dharma sering pulang larut malam, menyembunyikan ponselnya, dan menjadi lebih dingin dan acuh tak acuh terhadapnya. Maya mencoba u...

TETAPLAH MENJADI ORANG YANG TIDAK PENTING

  TETAPLAH MENJADI ORANG YANG TIDAK PENTING Di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh ambisi dan kesibukan, terkadang kita lupa bahwa kebahagiaan sejati bisa ditemukan dalam kesederhanaan. Menjadi orang yang "tidak penting" bukan berarti merendahkan diri, melainkan tentang memilih fokus yang tepat dalam hidup. Menjauh dari Tekanan Sosial Masyarakat sering kali mendefinisikan nilai seseorang berdasarkan pencapaian, kekayaan, atau status sosial. Hal ini menciptakan tekanan yang mendorong kita untuk terus bersaing dan mencari pengakuan. Menjadi "tidak penting" berarti membebaskan diri dari ekspektasi tersebut dan fokus pada apa yang benar-benar penting bagi kita. Menemukan Kebahagiaan dalam Hal-Hal Kecil Ketika kita tidak terikat pada pencapaian eksternal, kita mulai menghargai momen-momen kecil dalam hidup. Keindahan alam, kebersamaan dengan orang terkasih, atau secangkir teh hangat di pagi hari dapat membawa kebahagiaan yang jauh lebih mendalam daripada pencap...